SURABAYA – Konflik Rusia-Ukraina terus merembet hingga sektor ekonomi. Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (UNAIR) Citra Hennida S IP MA IR menyebut konflik tersebut akan terus berdampak langsung pada sektor ekonomi internasional.
Citra menjelaskan dampak ekonomi itu muncul ketika negara-negara besar mulai memberikan sanksi kepada Rusia demi menghentikan invasi. Sanksi tersebut berupa larangan penerbangan, membatasi Rusia memasuki pasar investasi, sampai membatasi perdagangan, " paparnya, Rabu (9/3/2022).
Dampak Sanksi Ekonomi bagi Rusia
Belakangan masyarakat Rusia, termasuk warga negara Indonesia, mengaku sulit mendapat uang tunai. Antrean di ATM pun semakin mengular. Hal itu, ujar Citra, adalah salah satu dampak nyata dari sanksi ekonomi komunitas internasional.
Citra memberikan contoh pada Amerika Serikat dan Inggris yang melarang investor dalam negeri untuk berinvestasi pada sektor-sektor yang digunakan Rusia untuk membiayai perang. Aksi tersebut diikuti pula oleh banyak korporasi global.
“Misalnya Ikea, Disney, Shell, Ford, hingga Apple yang membatasi atau berhenti beroperasi di Rusia” imbuh alumnus Flinders University, Australia itu.
Selain itu, sanksi ekonomi bagi Rusia mempunyai dua karakteristik. Pertama, sanksi akan menyasar pada bisnis-bisnis milik oligarki. Kedua, mengarah pada sektor dengan tingkat ketergantungan yang rendah pada negara pemberi sanksi.
“Rusia itu sistemnya semi-otokratik. Dukungan publik tidak berpengaruh. Yang berpengaruh pada kebijakan luar negeri adalah presiden, elit politik, dan oligarki di sana, ” katanya menjelaskan alasan bisnis oligarki menjadi sasaran.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Citra Hennida S IP MA IR. (Sumber: Istimewa).
Picu Harga Barang dan Inflasi Naik
Rusia maupun Ukraina adalah negara yang memiliki komoditas ekspor yang penting di banyak negara. Untuk Rusia, embargo minyak dan gas pasti dihindari negara manapun. Namun, konflik akan tetap mengganggu distribusi serta perlahan memicu kenaikan harga minyak dan gas global.
Di Indonesia, belakangan sempat marak isu harga mie dan roti akan membengkak karena konflik Rusia-Ukraina. Citra menyebut isu itu beralasan. Sebab, Ukraina menjadi salah satu pengekspor gandum, bahan dasar mie dan roti, terbesar di Indonesia.
Kenaikan tersebut juga muncul akibat stok gandum yang tertahan di pelabuhan lantaran ketegangan di beberapa kawasan jalur distribusi. “Tinggal cari, kita punya komoditas ekspor apa dengan Rusia dan Ukraina. Akan langsung ketemu komoditas ekspor mana saja yang kemungkinan akan terganggu, ” imbuhnya.
Sementara itu, kenaikan harga barang juga beriringan dengan laju inflasi. Termasuk Indonesia, Citra menyebut uang berlebih yang dikeluarkan untuk mendapat komoditas ekspor dari Rusia atau Ukraina akan memicu inflasi.
“Indonesia kan masih sangat tergantung dengan impor. Apalagi, kita juga masih berusaha bangkit dari pandemi, ” ujarnya.
Dampak pada Harga Emas dan Iklim InvestasiCitra menerangkan bahwa konflik Rusia-Ukraina awalnya tidak diprediksi akan berlangsung lama. Namun, konflik itu nyatanya telah memasuki minggu kedua dan akhirnya berdampak besar pada iklim investasi global.
“Konflik ini memicu kegelisahan karena boikot yang dilakukan berbagai negara. Akhirnya investor akan berinvestasi pada hal-hal yang pasti, seperti emas, ” tuturnya.
Emas sendiri menjadi instrumen yang menjaga nilai uang. Karena itu, tidak mengherankan jika belakangan banyak orang berburu emas hingga menaikkan harga emas secara global.
“Di Indonesia 1 gram (emas, Red) mencapai kisaran satu juta. Bahkan dalam sehari bisa naik 15.000 rupiah. Penyebabnya banyak orang mencari emas karena dianggap investasi yang lebih aman” kata Citra.
Baca juga:
Sekuriti Dibina, Keamanan Ditingkatkan
|
Variasi Supply dan Tempat Investasi FDI Baru
Citra menekankan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak ekonomi konflik Rusia-Ukraina. Pertama, pemerintah harus memperbanyak variasi supply dan melakukan shifting pada komoditas ekspor dari dua negara tersebut.
Untuk impor gandum, Citra mencontohkan beberapa negara alternatif seperti Kanada, Amerika Serikat, Pakistan, atau Bangladesh. “Intinya mencari alternatif. Lalu, cari juga mitra lain yang butuh barang kita. Termasuk mencari alternatif atau mengganti tempat investasi FDI (foreign direct investment, Red), ” terangnya.
Namun, proses mencari alternatif tersebut tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang tidak singkat pula. Karena itu, Citra mengimbau pemerintah, korporasi, maupun pelaku ekonomi memperhatikan rantai supply yang berkaitan dengan Rusia dan Ukraina.
“Segera cari alternatif pasar baru, variasi supply, dan investor baru untuk menjaga perekonomian dan investasi dalam negeri, ” pesannya. (*)
Baca juga:
Tony Rosyid: HRS Diborgol, Lalu?
|